Sabtu, 22 Agustus 2015

Menepi ke Titik Nol Kilometer Indonesia

Titik nol kilometer Indonesia membuat kami ingin terbang ke Aceh, tragedi tsunami 10 tahun yang lalu melanda wilayah ini juga menambah keinginan tahuan kami akan perkembangan kondisi daerah ini.
Jadilah kami menetapkan jalan-jalan ke Aceh saat Indonesia merdeka 70 tahun, tgl 17 Agustus 2015. Kami berangkat sabtu siang tgl 15 Agustus dan kembali ke Jakarta tgl 18 Agustus 2015 sore.
Wisata kami pusatkan di pulau Weh dimana titik nol kilometer Indonesia berada, 2 malam kami di pulau ini. Kami juga keliling kota Banda Aceh yang merupakan ibukota propinsi Aceh, menikmati kuliner adalah fokus utama yang dilakukan di kota ini sedangkan untuk menikmati tempat wisata seperti pantai atau sejenisnya tidak ada, disini adanya peninggalan sejarah seperti rumah Cut Nyak Dien dan tentunya beberapa tempat terjadinya tsunami yang saat ini dijadikan monumen atau situs yang bisa kita kunjungi.

Hari Pertama - 15 Agustus 2015
Kami terbang dengan pesawat Garuda Indonesia jam 12 siang, teman kami Mery yang dari Makassar terbang dari Makassar ke Jakarta di pagi harinya dan mendarat jam 10 pagi. Sempat deg deg an dengar range waktu penerbangan hanya 2 jam saja, beda terminal pula. Kami wanti-wanti dia agar bagasinya tidak masuk kabin karena bisa tambah lama.
Syukurlah lalu lintas bandara hari itu tidak macet dan shuttle antar terminal juga lagi tidak penuh, jadilah Mery berhasil datang di waktu yang pas dan sebelum boarding kami sempat makan, saya juga sempat mengambil jatah 1 gelas starbuck dari kartu kredit BCA.
Lalu lintas bandara ternyata memang agak sepi di jam 9-10 pagi, kalau lebih siang dan bahkan pagi buta malah macet seperti yang pernah saya alami sebelumnya.
Setelah terbang 3 jam dari Jakarta, mendaratlah kami di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh dan kami langsung berfoto di balik kaca dengan pemandangan atap bandara yang berkubah seperti masjid.
Kami yang wanita sudah siap dengan syal yang bisa dijadikan kerudung, untuk antisipasi, karena infonya simpang siur dan kebanyakan menginfokan harus pakai kerudung.
Saat di bandara ternyata tidak ada yang meminta kami memakai kerudung dan penduduk lokal tampak biasa saja melihat kami tidak memakai kerudung (lihat bagian cara berpakaian).
Kami dijemput oleh pak Hafid, yang ditugaskan oleh travel yang kami pesan untuk mengantar kami selama di kota Banda Aceh.
Di hari pertama ini kami diajak keliling kota dan singgah di beberapa tempat mengenang terjadinya tsunami 10 tahun lalu, dan tak lupa makan mie aceh.
Kota Banda Aceh tampak cukup ramai, jalannya bagus dan teratur dan yang takjub adalah orang-orangnya ramah....kondisi kota juga aman. Tampaknya dibalik kesedihan musibah tsunami, ada berkat kedamaian....katanya sejak saat itu tidak ada lagi "acara" tembakan-tembakan, tidak ada lagi pemberontakan...acara 17 Agustus disini juga lebih meriah dari di Jakarta loh....di hari kedua aja masih ada karnaval.
Kuburan Masal Siron
Kuburan masal korban tsunami ada di 3 tempat, yang terbesar di kuburan masal Siron yang terletak tidak jauh dari bandara. Di tempat ini dikubur 46,718 korban jiwa.
Walau sempat sedikit merinding tapi suasana kuburan yang seperti taman membuat nyaman dan kalau tidak ada papan petunjuk, orang yang pertama kali datang mungkin akan mengira ini taman dengan lapangan rumput yang cukup luas.
Kamipun berfoto-foto di beberapa titik di tempat ini.
Situs Kapal PLTD Apung
Kami takjub melihat kapal sebesar ini ada di tengah-tengah pemukiman. Kapal ini terseret dari laut ke lokasi ini dan menimpa beberapa rumah.
Kita bisa naik ke atas kapal ini dan berfoto-foto disana. Dari atas kapal terlihat pemandanagan kota Banda Aceh dan tampak beberapa genteng berwarna biru yang menandakan bahwa bangunan tersebut adalah sumbangan/bantuan dari berbagai pihak. Katanya, masyarakat yang membangun kembali rumahnya akibat tsunami juga mendapat bantuan dana.
Kapal ini katanya mesinnya sudah diambil, jadi tinggal kerangka. Kami jadi berpikir...ini asuransinya dengan asuransi mana yah...salvage-nya tidak dijual nih, tapi disumbangkan untuk dijadikan situs tsunami.
Makan Mie Aceh di Jalan Polem
Kami mencoba makan mie aceh goreng dan kuah, di rumah makan dimana pak Jokowi pernah makan saat kunjungan ke Aceh. Rasanya enak, pedasnya pedas lada bukan cabai. Harga juga relatif tidak mahal, yang dengan udang atau daging sapi sekitar Rp 15-20 ribu, sedangkan yang polos katanya cuma Rp 8 ribu.
Oh ya, daging sapi aceh rasanya beda loh...lebih lembut, jadi boleh dicoba jika sedang kulineran di Aceh.
Situs Kapal  diatas Rumah Lempulo
Saat terjadinya tsunami, kapal ini ada di tempat docking dan siap berlayar tapi Tuhan berkehendak lain, kapal ini terseret 1 km dari tempat docking ke tempat ini dan menyelamatkan 59 orang.
Masjid Baiturrahman
Kami ke tempat ini saat solat magrib. Ferry ditemani guide/supir kami sempat solat di tempat ini...kami bertiga, yang wanita, walau sudah pakai kerudung tidak boleh masuk sebelum solat selesai...jadilah kami nongkrong di pinggir masjid sambil melihat-lihat dan berkirim foto yang sudah berhasil kami jepret sejak siang tadi.
Makan duren di pinggir jalan
Kami berempat memang termasuk yang suka duren...jadi melihat duren di pinggir jalan, langsung nafsu walau makannya berdiri di pinggir jalan. Duren aceh enak juga, lembut dan legit, dengan kadar gas yang terasa cukup tinggi.
Bermalam di Hotel Hermes
Setelah makan mie ala pak Jokowi, kami menuju ke penginapan kami di hotel dimana pak Jokowi pernah menginap. Kata petugas hotel, saat pak Jokowi kesana dipasang karpet bagus tapi bapaknya ngak jalan di karpet, maunya jalan di tempat biasa.
Selain pak Jokowi, pak SBY dan pak Kalla juga pernah menginap disini.

Hari Kedua - 16 Agustus 2015
Setelah sarapan pagi dan berfoto di depan cafe Hotel Hermes kami berangkat ke pelabuhan Ulee Lheue dan naik kapal cepat yang pagi.
Kapal cepat dari pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh ke pelabuhan Balohan, Pulau Weh, ada 2 kali penyeberangan yaitu jam 9.30 dan 16.00 dan penyeberangan baliknya jam 08.00 dan 14.30.
Saat itu kapal cukup penuh, mungkin karena hari libur jadi banyak yang berwisata ke pulau Weh, pulau yang merupakan pulau vulkanik kecil dan di pulau ini ada 2 kota yaitu Sabang, kota yang terletak di paling barat Indonesia dan kota Balohan.
Setelah kami berlayar selama 30 menit kami tiba di pelabuhan Balohan dan kami dijemput oleh Rizal yang menjadi guide/ supir kami selama 2 malam di kota Sabang.
Titik Nol Kilometer Indonesia
Inilah tempat yang membuat saya pingin ke Aceh...ingin menginjakkan kaki disini. Jalanan ke tempat ini sudah beraspal tapi di beberapa titik jalannya kecil, hanya muat satu mobil padahal jalanan itu dipakai oleh 2 jalur pulang pergi. Dalam perjalanan beberapa kali kami juga bertemu monyet-monyet yang sedang bermain di jalanan.
Setelah sampai di monumen bertuliskan Kilometer Nol Indonesia, kami langsung berfoto. Fotonya antri jadi saya hanya berfoto di depannya dengan latar banyak orang he...he...
Tugu kilometer nol sedang diperbaiki jadi tidak naik kesana...kamipun tidak jalan ke arah dalam yang katanya banyak monyet dan babi hutan.
Biasanya di tugu ini kita bisa membuat sertifikat yang menyatakan kita pernah ke tempat ini, tapi katena sedang di pugar jadi tak tahu harus minta dimana (hi..hi...tapi untungnya tour kami sidah menyiapkannya dan diberikan ke kami saat malamnya).
Kamipun sempat minum kelapa muda di warung di dekat tugu nol kilometer. Kelapanya enak, apalagi diminum saat dahaga seperti ini.
Di dekat warung yang berada di tepi laut ada area sedikit terbuka dan ada bendera....entah siapa yang menaruhnya....dan langsung saja kami pakai untuk berfoto dan fotonya buat profile bb buat besoknya tgl 17 Agustus deh.
Pantai Gapang
Sebelum kesini kami ke pantai Iboih, tapi karena parkiran penuh dan turun hujan gerimis maka kami skip dulu dan melanjutkan perjalanan ke arah pantai Gapang.
Disini katanya besok 17 Agustusan, para marinir membuat acara disini...menanam terumbu karang.
Sebelum kami lanjut ke Sabang Fair kami nongkrong di kedai kopi dan belanja beberapa oleh-oleh dan kaos bertuliskan dan berpeta pulau Weh yang akan kami pakai esok harinya.
Ngopi di Cafe de Sagoe
Kami ngobrol disini cukup lama, ngobrol ngalor ngidul sambil menunggu hujan. Kopi sanger menjadi pilihan kami, kopi dengan susu manis tapi tidak semanis kopi susu biasanya. Kami juga mencoba mie goreng aceh. Martabak aceh yang membuat kami penasaran sejak malam sebelumnya, menjadi menu yang wajib dicoba, kami pesan 2 martabak isi 2 telur untuk kami makan bersama.....kebayangnya banyak kan yah....tapi nyatanya....kecil banget, ini martabak tepatnya disebut telur dadar he...he.... Cara membungkusnya unik, digulung!
Sunset di Sabang Fair
Pemandangan sunset di Sabang agak unik, beda dengan sunset di Bali atau di wilayah arah timur Indonesia yang mataharinya tampak membulat. Disini merahnya berpencar diantara birunya langit. Sepanjang perjalanan menjelang sunset sudah tampak pemandangan seperti itu, dan yang paling cantik di Sabang Fair ini. Mungkin bentuknya seperti ini karena letaknya yang lebih ke barat...
Nama tempat ini ada Fair nya, tapi jauh beda dengan Jakarta Fair yah he...he... ini tempat menikmati pemandangan laut dan tersedia beberapa gazebo untuk duduk-duduk.
Malam Tak Terlupakan
Ini pengalaman kami yang tak biasa sehingga kami menyimpulkan jika check in hotel jangan sudah larut malam jika belum mengenal hotel yang akan kita tinggali, saat tiba segera check in dahulu sehingga ada waktu jika diperlukan perubahan. Ceritanya saat tiba di suatu hotel yang sudah di reservasi sekitar jam 9-10 malam, kami disambut keheningan, petugasnya ngak tahu ada dimana. Setelah ketemu petugasnya dan menanyakan kamar, dua teman kami sudah mulai resah merasakan aura begituan. Petugas bilang kami dapat 1 kamar di depan dan 1 di belakang....alamak. Kami protes minta yang lebih depan....dan setelah petugas telepon atasannya akhirnya dapat juga 2 kamar di depan...tapi pas kami mau cek kamarnya dulu...jreng...jreng...ada terdengar suara.....ha...ha...kami ber-3 langsung lari deh....tapi 1 teman kami jalan dengan santainya, bingung lihat kami ber-3  lari ha....ha....
Akhirnya kami minta pindah hotel saja biar lebih nyaman. Untunglah masih ada kamar di hotel lain karena orang yang pesan kagak datang-datang dan di telpon berkali-kali ngak diangkat. Tapi setelah kami check in beberapa jam, tampaknya orangnya datang tapi jadi sudah ngak bisa lagi.
Di pulau Weh, kalau booking hotel ngak bayar dulu, akibatnya seperti ini. Kami juga awalnya dijanjikan hotel lain tapi saat dikonfirmasi seminggu sebelum kedatangan dibilang ngak tercatat, kami minta travelnya ngotot juga ngak bisa karena sistim booking seperti ini. Namun syukurlah kami akhirnya 2 malam di pulau Weh bisa menginap di hotel lainnya yang tidak dicalonkan dari awal....tour mungkin tidak pilih ini karena letaknya jauh dari pemandangan, tapi hotelnya rapih dan kami aman-aman saja disana karena lokasinya di tengah pemukiman penduduk....namun kejadian mati lampu disini sempat membuat grogi...ada genset sih tapi pas pergantian kan gelap ha...ha....

Hari Ketiga - 17 Agustus 2015
Sabang Fair
Karena penasaran dengan pemandangan saat terang, maka pagi-pagi sebelum keliling ke tempat lainnya kami berfoto di disini dan pakai kaos seragam yang kami beli di kemarinnya di kota Sabang. Murah kaos nya hanya Rp 45 ribu dan Rp 55 ribu untuk ukuran yang besar, bahannya lumayan bagus juga dan yang penting ada peta pulau Weh di kaos ini.
Pantai Sumur Tiga
Pantai ini menurut saya adalah pantai yang paling cantik di pulau Weh dan termasuk pantai yang tercantik yang pernah saya lihat. Pantainya panjang dan di 3 titik lokasi terdapat sumur yang ajaib....kenapa ajaib? karena airnya tawar, kami sudah mencobanya!
Saat menikmati pantai cantik ini kami jadi berkomentar, ini cantik-cantik saat tsunami kan ikut ngamuk juga kan yah... Iya bener, tsunami juga terjadi di kota Sabang, walau korban jiwa tidak banyak (katanya 10 orang) tapi jalanan banyak yang rusak.
Bunker Jepang
Dari atas bungker Jepang ini, pemandangan pantai Anoi Itam tampak cantik, air lautnya bergradasi dan disini ada pohon yang bibitnya diambil dari Jepang.
Untuk menuju ke bungker, kita perlu sedikit berjalan dan menaiki beberapa anak tangga.
Makan siang di Ruangan yang pernah dipakai Pak Jokowi
Kami kembali makan siang di Cafe Kencana, ketagihan dengan masakannya yang enak dan harganya relatif murah. Tapi hari ini istimewa, karena kami datang lebih awal maka kami kebagian menempati ruangan makan ber-AC yang pernah dipakai pak Jokowi saat makan siang di acara kunjungan beliau ke kota Sabang beberapa waktu yang lalu. Kami juga makan es yang oleh penjualnya dinamakan es Jokowi, es sirop dengan cingcau hitam, pepaya dan blewah.
Balohan Hill
Dari atas bukit ini kita bisa melihat pemandangan pelabuhan Balohan dan dari kejauhan tampak kota Banda Aceh. Di tempat ini salah satu teman kami ada yang mau nekat naik keatas pagar agar dapat foto yang lebih bagus...tapi kami bujuk agar jangan nekat, takut jatuh....high risk tapi ngak high return ha....ha...
Danau Aneuk Laot
Danau ini menurut saya biasa saja tapi karena sedang acara 17 Agustusan jadi menarik juga...ada yang lomba dayung.
Pantai Iboih
Setelah gagal mampir di tempat ini kemarin karena gerimis dan parkiran penuh. Hari ini kami kembali ke tempat ini karena masih ada waktu. Kali ini dapat parkir tapi sempat terusir juga ke pojokan.
Dari pantai ini, kita bisa naik kapal ke pulau Rubiah dan snorkling disana. Tapi lihat kapalnya seperti di foto, kami memilih jalan-jalan saja di pinggir pantai...ngak jago berenang soalnya he..he...
Disini kami lihat banyak turis asing yang hendak diving dan ada pemandangan lucu melihat tante bule pakai daster mengendarai motor, tanpa alas kaki pula he...he....
Bersantai di Cafe de Sagoe
Kami kembali bersantai disini, minum kopi, makan mie goreng aceh dan martabak, tapi kali ini kami tidak sok imut lagi...pesannya 1 orang 1 martabak telor 2.

Hari Keempat - 18 Agustus 2015
Hari ini kami bangun pagi. Jam 6.30 sudah sarapan karena mau naik kapal yang jam 8 pagi. Kapal yang kami naiki kali ini tidak sebesar yang saat berangkat. Kapal mungkin kapasitas 200 orang, kalau saat berangkat kami naik kapal yang kapasitas 400 orang.
Setibanya kembali ke Banda Aceh, kami lanjut keliling kota Banda Aceh dengan ditemani kembali oleh pak Hafid.
Musium Tsunami
Musium ini menyajikan kenangan sekaligus pembelajaran tentang tsunami. Saat kami datang, ada beberapa tempat sedang direnovasi. Sumur doa dan lorong tsunami yang ingin kami kunjungi sedang ditutup.
Kami disini sempat menonton video saat bencana tsunami. Ada hal yang menarik dan saya baru tahu saat nonton film ini, yaitu saat proses recovery ternyata selain banyak bantuan dari luar negeri, juga bantuan dari gajah-gajah yang turut ambil bagian mengangkut puing-puing....gajah-gajah ini seperti gajah di Lampung, ada pelatihannya di satu daerah di Aceh.
Kami juga melihat beberapa diorama dan ada 1 diorama yang menggambarkan bentuk air tsunami....huh, tinggi banget dibanding tinggi manusia dan bentuknya seperti tangan ingin menangkap sesuatu....
Diorama lainnya menggambarkan wilayah kota Banda Aceh sebelum dan sesudah tsunami....terlihat banyak sekali yang terkena tsunami.
Makan Ayam Tangkap
Salah satu makanan khas aceh adalah ayam tangkap. Kenapa disebut demikian karena ayam gorengnya disajikan dengan ditutupi daun dan cabai hijau yang digoreng. Daun yang digunakan adalah daun kari atau disebut juga daun salam koja.
Kami makan ayam tangkap di rumah makan Ustad Hery, yang juga menyajikan menu ayam dengan bumbu seperti rendang dan telur asin yang nikmat rasanya.
Rumah Cut Nyak Dien
Saat kami kesini, tempat ini sedang ditutup jadi kami hanya bisa melihatnya dari balik pagar. Rumah panggung ini adalah replika karena rumah aslinya sudah hancur.
Berfoto di depan Pagar Masjid Baiturrahman
Akhirnya kami berhasil foto dengan latar masjid Baiturrahaman dan pekarangan mesjid saat itu tampak sedang dilakukan beberapa pembangunan prasarana.
Masjid yang cantik ini berdiri sejak abad 18 dan tetap berdiri kokoh saat tsunami, padahal disekitarnya hancur. Selain mesjid ini juga ada mesjid lain yang tetap kokoh berdiri saat di landa tsunami.

Kami juga melewati Gereja Khatolik Hati Kudus, satu-satunya gereja khatolik di Banda Aceh. Gereja yang dibangun sejak masa kolonial Belanda ini juga tetap kokoh berdiri saat terjadinya tsunami.

Belanja Oleh-oleh
Kami belanja oleh-oleh di Toko Pusaka Souvenir di Jl. Sri Ratu Safiatuddin. Disini dijual tas khas Aceh, kain katun motif batik Aceh, kopi, kue-kue kering seperti dodol dan lontong paris, aneka souvenir seperti gantungan kunci juga dijual disini.

Kami juga mencoba ngopi di Banda Aceh di Solong Coffee yang mana pak Jusuf Kalla pernah ngopi. Disini ada istilah kopi penuh yang disajikan di gelas, kopi pancung yang disediakan di cangkir dan kopi mini yang lebih kecil lagi cangkirnya. Aneka kopi yang dijual juga beragam, dan kopi khas aceh, kopi sanger tentu dijual disini, tapi rasanya lebih manis dari yang di De Sagoe, Sabang.

Sebelum ke bandara kami mampir ke kios batu akik di pinggir jalan....karena 2 teman kami masih penasaran belum berhasil membeli bongkahan batu. Padahal dari hari pertama di Aceh, setiap harinya ada saja kios atau toko batu akik yang dihampiri...korban batu akik ha...ha... Batu akik Aceh itu cantik juga, hijau seperti giok, ada juga yang merah yang namanya batu merah delima, namun belum sepopuler yang hijau.

CATATAN
Tata Cara Berpakaian
Di Aceh, kesopanan berpakaian selayaknya kita hormati khususnya bagi kaum wanita, karena penduduk lokal disini mayoritas berpakaian muslimah. Bagi wanita gunakanlah rok panjang atau celana panjang yang tidak ketat, dan untuk atasan juga jangan ketat dan harus berlengan sebaiknya tangan panjang tapi jika di pulau Weh tidak tampak aneh jika kita pakai baju berlengan sesiku. Lalu untuk kerudung, wajib dipakai di dalam tempat ibadah.
Alamat Rumah Makan yang kami kunjungi selama trip ini:
Kencana Café, Jl Cik Ditiro, Ie Muelee, Sabang
De Sagoe Kupi, di persimpangan Jl Yos Sudarso dan Jl Diponegoro, dekat mesjid Babussalam, Sabang
Warung Nasi Ustad Hery, Jl Teuku Umar, Banda Aceh
Mie Aceh, Jl Polem, Banda Aceh
Solong Coffee, Jl Soekarno Hatta, Banda Aceh
Bagaimana cara keliling Banda Aceh dan pulau Weh?
Ikutlah tour lokal. Saya memesannya via www.travelawan.com 

Demikianlah cerita trip kami selama menepi di kota yang terdekat dengan titik nol kilometer Indonesia. 

Oleh, Kumala Sukasari Budiyanto